KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92/PUU-X/2012

FERY, WIJAYA (2014) KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92/PUU-X/2012. Other thesis, ANDALAS UNIVERSITY.

[img]
Preview
Text
cover.pdf

Download (23kB) | Preview
[img]
Preview
Text
abstract.pdf

Download (27kB) | Preview
[img]
Preview
Text
bab%201.pdf

Download (445kB) | Preview

Abstract

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA-PUTUSAN M AHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92/PUU-X/2012 ( Fery Wijaya, 1220113050, Universitas Andalas, 173 hlm, 2014) ABSTRAK Gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Uundang-undang Dasar 1945, dengan konsep “utusan daerah”, yang bersanding dengan “utusan golongan” . Dalam periode konstitusi berikutnya. UUD RIS gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat. Dalam UUDS 1950 tetap mengakomodasi Senat. Setelah kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, utusan daerah kembali hadir. Dalam rangka pembaharuan konstitusi pada tahun 1999-2002, MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pada perubahan ke tiga UUD 1945 bulan November 2001. Sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem bicameral. Sistem bicameral yang diselenggarakan di Indonesia berbeda dengan sistem bicameral negara-negara lain, yang dikenal dengan sistem dua kamar yang kuat Congress Amerika serikat, misalnya, DPR dan senat punya kesempatan untuk mengecek semua rancangan undang-undang sebelum disampaikan kepada Presiden. Secara tidak langsung dalam argumen ini menegaskan bahwa konsep bikameral sendiri sebenarnya tidak diterapkan DPD bahkan tidak mempunyai "kekuatan konstitusional“ untuk berkompetisi. Adapun permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah: Bagaimanakah Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah, dan Bagaimanakah pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap sistem bikameral di indonesia. Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, sedangkan data yang digunakan dari data sekunder serta teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Dari hasil penelitian ini Implikasi putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 mengabulkan permohonan DPD: Pertama kewenangan DPD dalam mengajukan RUU diposisikan sama dengan DPR dan Pemerintah; kedua Kewenangan DPD ikut membahas RUU meliputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU sampai dengan pembahasan tingkat II/ sebelum tahap persetujuan; ketiga DPD memiliki wewenang ikut menyusun Prolegnas pembahasan RUU dilakukan oleh tiga lembaga (DPR, DPD dan Presiden) tripartid. Perubahan keempat UUD 1945 gagasan bahwa sistem parlemen Indonesia dapat disebut trikameral walaupun ada tiga kamar namun hanya dua kamar yang bersentuhan langsung dalam hal legislasi. Pasca-Putusan MK, dengan melihat adanya penguatan kewenangan DPD sebagai second chamber dalam fungsi legislasi maka telah sesuai dengan amanat konstitusi. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 22D UUD 1945. Diharapkan DPR dan Pemerintah melaksanakan putusan MK yang bersifat final apabila putusan ini tidak dilaksanakan proses pembentukan UU yang dilaksanakan mulai dari dibacakan putusan tersebut adalah cacat formal. Berdasarkan legitimasinya dalam UUD 1945 seharusnya kewenangan DPD tidak lagi di reduksi oleh undang-undang yang mengatur lebih lanjut tentang kewenangan DPD. Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi i

Item Type: Thesis (Other)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Operator Repo Unand
Date Deposited: 31 Mar 2016 06:53
Last Modified: 31 Mar 2016 06:53
URI: http://repo.unand.ac.id/id/eprint/2561

Actions (login required)

View Item View Item