KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH

FERY, WIJAYA (2014) KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH. Other thesis, Universitas Andalas.

[img]
Preview
Text
Cover%20skripsi.pdf

Download (209kB) | Preview

Abstract

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH Skripsi Strata satu (S1) oleh: Fery Wijaya Pembimbing : 1. Dian Bakti Setiawan, S.H., M.H. 2 Syofiarti, S.H., M.H. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dalam undang-undang. Lebih lanjut ketentuan ayat (5) Pasal tersebut menegaskan Pemerintah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang ditentukan menjadi urusan pemerintah antara lain: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter fiscal dan agama. Dengan kata lain seluruh kewenangan telah diberikan kepada Pemerintah Daerah, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, namun dengan adanya keberadaan suatu aliran-aliran agama maka mendorong beberapa Gubernur mengambil inisiatif kebijakan untuk melakukan pelarangan-pelarangan terhadap keberadaan aliran-aliran agama tersebut. Adapun Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah: Bagaimanakah kewenangan Gubernur dalam urusan agama di Daerah, dan bagaimanakah bentuk pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan urusan agama dari Pemerintah kepada Gubernur. Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normative, sedangkan data yang digunakan dari data sekunder serta teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Kewenangan Gubernur dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi tidak diatur dengan jelas. Pasal 10 ayat (4) dan (5) UU 32 Tahun 2004 tidak mengatur dengan jelas mengenai tugas yang harus dilaksanakan oleh gubernur. Pasal tersebut hanya mengatakan, bahwa pemerintah pusat dapat melimpahkan penyelenggaraan urusannya kepada Gubernur sehingga menjadikan tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah tidak efektif. Ketidak jelasan pengaturan tentang peran Gubernur seringkali menimbulkan kerancuan peran, tugas, dan wewenang Gubernur dalam melaksanakan urusan pemerintah kususnya mengenai kewenangan dalam urusan agama. sehingga adanya intervensi yang berbeda–beda terhadap kewenangan Gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi. Dalam peyelenggaraan urusan pemerintah khususnya dalam penyelenggaraan urusan agama tidak ada bentuk pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur. Dalam pelaksanaan urusan pemerintah pelaksanan dekonsentrasi sebagai mana yang di amanatkan dalam asas otonomi daerah, dalam praktek pemerintahan Gubernur lebih cendrung melakukan urusan tersebut dengan dasar yuridis kewenangannya sebagai pelaksana pemerintahan di daerah bukan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Untuk itu diperlukan aturan yang mengatur tentang kejelasan pembagian urusan pemerintahan kapan suatu urusan pemerintah dapat menjadi wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah daerah.

Item Type: Thesis (Other)
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum
Depositing User: Operator Repo Unand
Date Deposited: 31 Mar 2016 02:51
Last Modified: 31 Mar 2016 02:51
URI: http://repo.unand.ac.id/id/eprint/2309

Actions (login required)

View Item View Item