Hardisman, Hardisman (2018) Menelaah Kebolehan Vaksinasi MR. Padang Ekspres.
|
Text
Vaksin MR_Padang Ekspres 1 September Hardisman.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 yang tertanggal 20 Agustus tersebut secara spesifik mengatur tentang penggunaan vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII). Berdasarkan pertimbangan ketentuan hukum penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya adalah haram humumnya. MUI menyebutkan bahwa “Proses produksi vaksin MR” dari SII menggunakan bahan berasal dari babi, sehingga secara prinsip dasar MUI memutuskan penggunaannya menjadi haram. Namun, untuk kondisi saat ini penggunaan vaksin MR produk SII tersebut “Boleh” (mubah) karena alasan dharurah syar’iyah (mendesak) karena belum adanya vaksin MR lain yang lebih nyata kesuciannnya. Secara implisit, MUI melihat dharurat syar’iyah dapat diterapkan pada kondisi saat ini karena mudharat (bahaya) atau dampak negatif yang dapat ditimbulkan bila anak-anak tidak diberikan imunisasi ini jauh lebih merugikan. Melihat keputusan dan fatwa MUI tersebut sebenarnya dangat jelas bahwa MUI membolehkan pemberian vaksin MR dari SII India tersebut. Secara Ilmu Kedokteran, khususnya Ilmu Biomedik tentang serologi, reaksi biologi dan pembuatan vaksin, bahan yang dari babi yang dimanfaatkan untuk proses pembuatan vaksin, termasuk polio dan MR adalah enzim tripsin. Fungsi inzim ini adalah sebagai katalisator atau mempercepat proses reaksi yang terjadi, bukan sebagai bahan baku vaksin tersebut. Pada proses akhirnya, tripsin dari babi akan dicuci (yang disebutkan hingga ribuan kali) sehingga tidak ditemukan pada produk vaksin yang siap untuk digunakan. Pencucian ini juga berfungsi dalam perspektif Ilmu Kedokteran, agar produk vaksin adalah produk murni, tidak ada bahan-bahan lain, terutama bahan organik lainnya seperti peptida yang dapat berpotensi memungkinkan terjadinya risiko alergi dan efek samping. Tidak adanya unsur babi dalam produk vaksin MR tersebut terbukti dengan beberapa pemeriksaan yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia secara acak terhadap sampel yang beredar. Inilah yang perlu dipahami oleh masyarakat dan dibahasakan oleh media secara benar, bahwa “Produksi vaksin MR pernah bersinggungan dengan bahan babi” dalam proses pembuatannya tetapi “Vaksinnya tidak mengandung bahan babi.” Ada tiga pertimbangan syari'ah dalam keputusan hukum MUI, yaitu istihalah, istihlak, dan riwayat binantang jalalah.Jika produksi vaksin dipandang sebagai istihalah saja dia menjadi halal secara mutlak. Namun, ada berbagai riwayat dan kaidah lain yang menjadi dasar pertimbangannya. Sehingga akan menjadi lebih afdhal, sesuai fatwa MUI sebagai bentuk kehati-hatian pemberian vaksin MR saat ini adalah boleh (mubah) sebagai bentuk kondisi darurat.
Actions (login required)
View Item |